PENANGGULANGAN WERENG BATANG COKLAT
Jakarta, Kompas, 8 Mei 2010.
Serangan hama wereng batang coklat pada tanaman padi meluas, padahal sudah
relatif lama petani bebas dari serangan hama ini. Oleh karena itu, pemerintah
daerah diminta lebih cepat merespons setiap laporan adanya serangan agar tidak
meluas.
Imbauan tersebut disampaikan
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Jumat (7/5). ”Petani juga
harus lebih waspada dan mempelajari kembali pola penanggulangan wereng coklat
melalui pendekatan pola tanam dan teknis budidaya,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, dari aspek
luasan, areal tanaman padi yang terserang wereng coklat memang tidak signifikan
dibandingkan dengan total luasan areal panen padi. Pada April-Mei 2010 total
luas areal panen padi mencapai 3,3 juta hektar.
Wilayah yang tanaman padinya
terpapar wereng coklat adalah Subang (Jawa Barat), Jember dan Banyuwangi (Jawa
Timur), serta Klaten, Jepara, Pati, dan Pekalongan (Jawa Tengah).
Menurut Bayu, ada empat
faktor yang memengaruhi meluasnya wabah wereng coklat. Faktor-faktor tersebut
adalah adanya perubahan iklim dan tata air yang membuat situasi pola tanam
tidak menentu, pola penanaman padi tidak lagi bisa dilakukan serempak,
introduksi benih padi hibrida yang tidak tahan wereng coklat, serta petani lupa
cara melakukan antisipasi.
Pengantar
Kliping harian Kompas tanggal 8
Mei 2010 membuka tulisan ini, yang membahas tentang pengalaman penanggulangan
wereng batang coklat (WBC) secara ekologis, yang dilakukan dalam kurun waktu
tahun 1980-an hingga sekarang. Ini dimulai dengan Instruksi Presiden No.
3 tahun 1986 tentang Pengendalian Hama Terpadu sebagai strategi nasional
perlindungan tanaman, kemudian berlanjut dengan penyelenggaraan Program
Nasional Pengendalian Hama Terpadu (1989-1999) yang dimulai di bawah kordinasi
BAPPENAS dan mulai tahun 1994 dilaksanakan langsung oleh Departemen
Pertanian.
Imbauan dari
Wakil Menteri Pertanian ini seakan-akan menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian
juga mengalami “lupa” tentang sebab-sebab klasik ledakan hama WBC di pertanaman
padi dan langkah penanggulangannya.
Sejarah Serangan Wereng Batang Coklat
Bila kita mau
menengok sejarah maka masalah yang dihadapi Indonesia dengan WBC adalah mirip
dengan pengalaman negara-negara lain di Asia. Di Indonesia WBC mulai menjadi
perhatian sejak tahun 1970 dan 1971. Survei tentang kerusakan tanaman
padi akibat penggerek di beberapa wilayah di Jawa Barat mendapatkan data bahwa
para petani menggunakan insektisida, yang berakibat tidak hanya meningkatnya
serangan penggerek tetapi juga jumlah populasi WBC sepuluh kali lipat
dibandingkan lahan padi yang tidak disemprot pestisida (Soehardjan 1972).
Sebelum tahun tujuh puluhan WBC tidak diperhitungkan sebagai hama.
Situasi ini segera berubah. Sebagai bagian dari BIMAS Gotong Royong di akhir
1960-an dan awal 1970-an maka ratusan ribu hektar padi sawah disemprot
insektisida organofosfat berspektrum luas secara masal dengan menggunakan
pesawat udara. Program ini juga menyediakan paket kredit dalam bentuk
pupuk kimia dan pestisida. Sejalan dengan pertumbuhan produksi yang
meningkat maka meningkat pula serangan WBC. Pada tahun 1975, sejalan
dengan kebijakan pemerintah secara langsung menyubsidi insektisida, maka
kehilangan hasil akibat dari WBC sama dengan 44% impor beras tahunan (Kenmore
1991). Sejak 1976 Pemerintah memulai penyemprotan dari udara dengan
formulasi insektisida dari jenis ultra low volume sehingga
bisa menjangkau wilayah yang luas. Hasilnya adalah pada tahun 1976/1977,
WBC mengakibatkan serangan berat pada 450.000 hektar padi sawah.
Perkiraan kehilangan hasil sekitar 364.500 ton beras, suatu jumlah yang cukup
untuk memberi makan 3 juta orang dalam satu tahun. (Oka 1997)
WBC menghancurkan padi sawah
dibagian tengah, yang disemprot dengan insektisida. Bandingkan dengan padi di
bagian atas yang tidak disemprot.
Ini bukan
kejadian yang terisolasi. Kebijakan-kebijakan perlindungan tanaman
Indonesia yang mempromosikan penggunaan pestisida telah mengakibatkan dua
ledakan hama di tahun 1979 dan 1986. Thailand, Vietnam, Kamboja dan
Malaysia juga mengalami ledakan hama yang mirip. Para ahli ekologi
populasi mampu mendokumentasikan proses ini (Kenmore et al. 1984; Ooi 1988;
Settle et al. 1996). WBC ditemukan berada pada tingkat populasi yang
tidak berarti di lahan padi sawah intensif yang tidak disemprot insektisida
karena dikendalikan oleh populasi musuh alami. Sekalipun ada imigrasi
sejumlah besar serangga WBC dewasa yang bereproduksi ke suatu lahan, maka
populasi musuh alami mampu merespon dan mengakibatkan tingkat kematian WBC yang
tinggi sehingga hasil panen tidak terganggu. Penggunaan insektisida telah
ditemukan menjadi penyebab terganggunya mekanisme pengendalian alami.
Tingkat hidup WBC didalam suatu sistem yang terganggu insektisida telah
ditemukan meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Selama satu musim
tanam kepadatan populasi WBC bisa meningkat ratusan kali lipat. Mencoba
mengendalikan ledakan hama ini dengan insektisida seperti menuang minyak
kedalam api.
Dengan
ledakan hama WBC yang masif maka para pemulia tanaman mengembangkan varietas
tanaman yang tahan kepada WBC. Strateginya adalah mengganti penggunaan
insektisida dengan menanam varietas padi yang tahan WBC. Tetapi di
lapangan, penggunaan insektisida yang intensif berlangsung terus.
Penggunaan insektisida yang intensif mendorong seleksi yang cepat terhadap
populasi WBC yang mampu mengatasi ketahanan varietas baru. (Gallagher
1984) Runtuhnya varietas-varietas yang baru ini secara cepat berarti dana
dan waktu yang diinvestasikan dalam pengembangannya telah terbuang sia-sia.
Apa yang
terjadi? Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan metode perlindungan tanaman
yang baku dari pemerintah di tahun 1970-an dan 1980-an secara nyata
meningkatkan resiko ledakan hama. Contoh ledakan hama WBC ini adalah
ilustrasi, karena secara umum ini juga mengakibatkan ledakan-ledakan hama padi
lainnya di daerah tropis. Insektisida melemahkan sebuah sistem sehingga
populasi musuh alami menjadi rendah dan tidak mampu memberikan perlindungan
terhadap sistem tersebut. Kebijakan pemerintah juga gagal memperhitungkan
“buffer” lain agar agroekosistem padi terhindar dari kehilangan hasil.
Ini adalah kemampuan tanaman untuk mengkompensasi kehilangan daun dan malai
produktif hingga 30 dan 40 hari setelah tanam. Beberapa varietas unggul
dapat bertahan terhadap kehilangan hasil walaupun hilang sekitar 30% dari daun
dan batang selama fase vegetatif. Kemampuan kompensasi dari beberapa
varietas unggul ini memungkinkan tanaman bertahan dari serangan hama yang
diakibatkan oleh penggerek, penggulung daun dan yang lain. (Way, Heong 1994)
Makalah Way dan Heong pada tahun 1994 berkesimpulan bahwa “Pengendalian Hama
Terpadu di padi tropika harus dilandasi prinsip bahwa insektisida tidak
diperlukan sehingga insektisida dan ‘hama’ ini perlu secara kritis dikaji ulang
dan dibuktikan sebelum penggunaan insektisida dipikirkan.”
Apakah kita bisa belajar dari
sejarah penanggulangan hama WBC di tanah air kita sendiri? Untuk itu kita
perlu meninjau sejarah tentang keluarnya INPRES 3/86 dan terselenggaranya
Program Nasional PHT dalam kurun waktu 1989-1999.
PHT sebagai Kebijakan Nasional – INPRES
3/86
Setelah
bertahun-tahun menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia,
Indonesia berhasil mencapai swa-sembada beras pada tahun 1984. Atas
prestasi ini, Indonesia mendapat pujian dari seluruh dunia serta penghargaan
dari FAO. Perubahan yang menakjubkan ini terjadi karena introduksi
pupuk dan varietas unggul yang disebarkan secara luas, pengembangan sistem
irigasi, dan adanya kebijakan-kebijakan pendukung yang tepat.
Namun
demikian, pencapaian tersebut memiliki kelemahan. Insektisida berspektrum
luas selalu diikutsertakan bersama dengan masukan lainnya. Insektisida
tersebut telah memicu ledakan populasi hama wereng coklat secara luas, sehingga
varietas-varietas padi berproduksi tinggi yang dikembangkan oleh Indonesia,
seperti Krueng Aceh dan Cisadane menjadi “patah” ketahanannya. Pada akhir
1985, hampir 70 % produksi padi di pulau Jawa terancam oleh hama tersebut.
Untunglah,
penelitian yang dilakukan oleh badan penelitian nasional dan internasional
selama tahun 1979 hingga 1986 secara meyakinkan membuktikan bahwa: 1) wereng
coklat merupakan hama yang ledakan populasinya disebabkan oleh penggunaan
pestisida secara berlebihan, dan 2) populasi hama tersebut dapat
dikendalikan oleh agen pengendali hayati berupa predator/pemangsa yang secara
alami ada di lahan sawah.
Pada 5
Nopember 1986 Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3 tahun
1986 yang menyatakan bahwa Pengendalian Hama Terpadu menjadi strategi nasional
pengendalian hama. Inpres 3/86 juga melarang 57 jenis insektisida,
sebagian besar adalah jenis organofosfat yang sangat beracun, untuk digunakan
di tanaman padi, dan memerintahkan diselenggarakannya program pelatihan PHT
skala besar kepada petugas lapangan dan petani.
Kebijakan PHT
ini diperkuat dengan penghapusan subsidi pestisida dua tahun berikutnya
sehingga Pemerintah bisa menghemat $120 juta per tahun. Selama 10 tahun
sebelumnya Pemerintah telah mengeluarkan dana subsidi pestisida sebesar $1,5
milyar.
Program Nasional PHT 1989 – 1999
Sebagai
kelanjutan dari terobosan ilmiah dan kebijakan yang dilakukan pada akhir tahun
1980-an tersebut, Pemerintah Indonesia meluncurkan program PHT dengan
skala paling besar - dari yang pernah dilaksanakan. Sejak tahun 1990,
Program Nasional PHT telah mencetak lebih dari 500.000 petani Indonesia menjadi
alumni dari Sekolah Lapangan PHT (SLPHT) yang dilakukan selama satu musim penuh
di 12 propinsi lumbung beras. Pada tahun 1997/1998, hampir 200.000 petani
terlibat dalam SLPHT per tahun. Hingga 1998, hampir setiap desa di daerah
lumbung beras di Indonesia memiliki setidaknya satu SLPHT yang diselenggarakan
di lahan di desa tersebut.
Dalam rangka
mencapai jumlah tersebut, lebih dari 2.000 Pengamat Hama dan Penyakit (PHP)
menjalani pelatihan Ahli Lapangan PHT secara intensif selama 14 bulan.
Lebih jauh, untuk mendukung pelaksanaan di lapangan, lebih dari 5.000 Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) tanaman pangan juga menjalani latihan PHT di
lahan. Pada kurun waktu 1989-1993, Program Nasional PHT dikoordinasikan
oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang melibatkan
Departemen Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, serta Pendidikan dan
Kebudayaan. Sejak 1994, program ini dikoordinir oleh Departemen
Pertanian. Selama kedua periode ini, Badan Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO) memberikan bantuan teknis. Dana untuk program ini, disamping
berasal dari Pemerintah Indonesia, juga bersumber dari hibah USAID dan pinjaman
Bank Dunia.
Program PHT
yang berintikan usaha pengembangan sumberdaya manusia menghasilkan perubahan
besar dalam perilaku dan praktek budidaya di lahan, yang memungkinkan petani
untuk terbebas dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya dan dari ancaman kampanye
perusahaan pestisida. Lebih dari 40 tahun yang lalu, di awal Revolusi
Hijau, pestisida dikenalkan secara luas melalui metoda “pesan dan sanksi” yang
membujuk petani untuk menggunakan pestisida bersubsidi dengan sistem
kalender. Sistem kalender kemudian digantikan dengan sistem ambang
ekonomi yang memerlukan pengamatan yang cermat, peramalan, dan teknik
“hitung dan semprot”. PHT di Indonesia telah meninggalkan konsep tersebut
dengan cara mempertajam ketrampilan petugas lapangan dan petani dalam
metoda-metoda ekologis, yaitu pengambilan keputusan dan pengelolaan lahan yang
didasarkan pada analisa agroekosistem dan pengamatan di lahan.
Manfaat
dan Hasil PHT
Manfaat
yang diperoleh dari program PHT bagi lingkungan, Pemerintah, petani, dan
masyarakat, antara lain adalah:
- Pemerintah
dapat menghemat dana subsidi sekitar 120 milyar dolar Amerika per tahun,
sementara pada saat yang sama ledakan populasi hama yang menjadi ancaman
terhadap keamanan penyediaan pangan juga telah menurun drastis.
- Petani
dapat menghemat biaya produksi, panen lebih terjamin, dan keadaan
kesehatan keluarga serta masyarakat menjadi lebih baik
- Kerusakan
lingkungan akibat penggunaan pestisida menjadi berkurang, baik untuk
jangka panjang maupun jangka pendek.
- Konsumen
terlindungi dari residu racun yang tidak diperlukan.
Setelah mengikuti SLPHT selama satu musim penuh, petani
menurunkan penggunaan insektisida, baik yang terlarang maupun yang tidak,
sementara itu hasil panen tetap dapat dipertahankan. Namun demikian, bagi
kebanyakan petani, ada yang lebih penting daripada keuntungan ekonomi tersebut,
yaitu berkembang-pesatnya kemampuan mereka untuk melakukan analisa, pengambilan
keputusan, dan pengelolaan lahan.
Mengacu kepada perkembangan di lapangan maka pada tahun
1999, Menteri Pertanian M. Prakosa menulis surat kepada Pemerintah Daerah agar
melanjutkan program PHT di tingkat lapangan dari anggaran daerah, sehingga
usailah Program Nasional PHT.
Resiko
Penggunaan Pestisida terhadap Ekonomi dan Kesehatan Petani
Selama tahun 1970-an, teknologi Revolusi Hijau memasukkan
insektisida ke dalam paket komponen input produksi bersama dengan pupuk,
irigasi, kredit, dan benih unggul.
Di pertanaman padi daerah tropis, penelitian yang
dilakukan selama 25 tahun oleh lembaga nasional Indonesia dan badan-badan
internasional seperti IRRI dan FAO tidak pernah membuktikan bahwa insektisida
memberikan sumbangan bagi peningkatan produksi padi ataupun peningkatan
keuntungan petani. Dalam kenyataannya, penggunaan insektisida secara
sembarangan, bahkan dapat mengakibatkan kehilangan hasil panen yang sangat
besar akibat timbulnya resurjensi hama, seperti yang terjadi pada tahun 1975
sampai 1979, sehingga produksi padi mengalami krisis akibat serangan hama
wereng coklat.
Di seluruh dunia, 80 % dari seluruh pestisida digunakan di
negara maju. Namun demikian, diperkirakan 90% kasus keracunan pestisida,
terjadi di negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa 25 juta manusia mengalami
keracunan pestisida setiap tahunnya. Dengan kondisi pedesaan yang para
petaninya miskin, maka “penggunaan secara aman” dari bahan-bahan kimia yang
sangat beracun tersebut, praktis tidak mungkin dilakukan. Disamping itu,
secara agronomis, perlu-tidaknya penggunaan pestisida pun masih
dipertanyakan. Studi yang dilakukan pada tahun 1993 tentang hubungan
antara penyemprotan pestisida dengan keracunan akut pada petani Indonesia
menyatakan bahwa 21% kegiatan penyemprotan mengakibatkan timbulnya tiga atau
lebih gejala dan tanda keracunan pada saraf, saluran pernafasan, dan
pencernaan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa frekuensi penyemprotan
per minggu, penggunaan pestisida berbahaya, dan tingkat pemaparan kulit oleh
pestisida berhubungan secara signifikan dan independen dengan
keracunan akut (Kishi, et al, 1995).
Ketidakmampuan petani untuk membeli perlengkapan pelindung,
panasnya iklim tropis, dan kesulitan untuk menegakkan pelaksanaan pengaturan
pestisida mengakibatkan kesehatan petani dan kondisi tanamannya menjadi terkena
risiko penggunaan pestisida, sekalipun dalam penggunaan yang ‘normal’.
Resiko terhadap kesehatan akibat pestisida tidak hanya
dijumpai selama penggunaan di lahan, melainkan juga ditemukan di rumah, tempat
para petani penyemprot tinggal. Delapan puluh empat persen (84%) petani
yang disurvei, ternyata menyimpan bahan kimia beracun tersebut di dalam rumah
dalam keadaan tidak aman dan mudah dijangkau oleh anak-anak.
Racun kimia yang berbahaya bagi lingkungan, beresiko
terhadap keberhasilan panen, dan mengancam kesehatan manusia tersebut
dipasarkan dengan menggunakan siasat pemasaran yang membujuk masyarakat, dan
seringkali secara langsung melanggar Standar Pengedaran Pestisida (FAO Code
of Conduct of Production and Distribution of Pesticide) yang dikeluarkan
oleh FAO. Program PHT memerangi hal ini dengan cara memberikan berbagai
alat analisa kepada petani agar mereka dapat mengambil keputusan sendiri,
sehingga uang dan sumberdaya mereka tidak terbuang percuma, kesehatan mereka
tidak terancam, tanaman mereka tidak mengalami kerugian, dan lingkungan mereka
tidak mengalami kerusakan.
PHT oleh
Petani: Pendekatan Ekologis
“PHT merupakan pendekatan ekologis sehingga sistem pertanian
dipandang sebagai suatu sistem yang kompleks dan hidup. Petani belajar
untuk bekerjasama dengan alam dan belajar untuk membuat dirinya mampu mencapai
kapasitas yang diperlukan untuk mengelola pertanian yang produktif dan
berkelanjutan. PHT juga merupakan program pengembangan sumberdaya
manusia. Pelatihan PHT membantu petani untuk belajar tentang
mengorganisir diri mereka sendiri dan masyarakatnya, untuk mengumpulkan dan
menganalisa data, untuk mengambil keputusan sendiri, dan untuk menciptakan
suatu jaringan kerja yang kokoh antara petani dengan petani lainnya, serta
antara petani dengan penyuluh dan peneliti.”, Menteri Pertanian, Prof.Dr.
Sjarifudin Baharsjah, 1994.
Lebih dari Soal Hama dan Pestisida
Program Nasional PHT Indonesia berusaha memperkuat kemampuan
petani, membangun organisasi petani, mempertajam ketrampilan petugas lapangan,
dan menciptakan manajer lapangan yang berkualitas. Alumni SLPHT lebih
sedikit menggunakan pestisida dan memperoleh lebih banyak keuntungan, dapat
menjaga produksi tetap stabil, dan mampu mengambil keputusan yang didasarkan
pada analisa ekosistem di lahan mereka sendiri.
Dengan menjadi kelompok inti dalam perencanaan, pelatihan,
dan penelitian lapangan di wilayahnya, para petani terlibat dalam pengembangan
dan penyebaran PHT. Di tahun anggaran proyek (1997/ 1998), SLPHT “Dari
Petani ke Petani” melibatkan lebih dari 75.000 petani peserta.
Secara
keseluruhan, analisa dan tindakan di dalam program PHT selalu berkisar di
antara empat prinsip dasar:
- Membudidayakan
tanaman yang sehat;
- Melestarikan
dan mendayagunakan peranan musuh alami (predator dan parasit);
- Mengamati
kondisi lahan secara mingguan untuk mengambil keputusan tentang
pengelolaan lahan;
- Memampukan
Petani menjadi ahli PHT dalam pengelolaan ekologi lahannya.
Metoda latihan ditekankan pada penemuan sendiri,
perbandingan, dan analisa. Petani belajar untuk bekerja secara efektif
dalam kelompok-kelompok kecil untuk melakukan percobaan lapangan, dan kemudian
menguasai ketrampilan yang lebih kompleks seperti pelatihan, perencanaan,
penelitian lapangan, dan pengorganisasian masyarakat.
Pemberdayaan
Petani melalui Sekolah Lapangan PHT
Program Nasional PHT menghidupkan kembali sistem penyuluhan
dan jaringan kelompok petani yang ada melalui pengorganisasian dan pelaksanaan
SLPHT. Dengan rancangan berupa “sekolah tanpa dinding”, Sekolah
Lapangan Petani ini melakukan pertemuan mingguan sebanyak 12 kali selama satu
musim tanam penuh, mulai dari tanam hingga panen. Setiap Sekolah Lapangan
memiliki 1000 meter persegi “Petak Belajar”, yang terdiri dari 2 petak
perbandingan, yaitu petak perlakuan petani dan petak PHT. Setiap minggu,
petani mempraktekkan analisa agro-ekosistem yang mencakup kesehatan tanaman,
pengelolaan air, kondisi cuaca, gulma, pengamatan penyakit, serta pengamatan
dan pengumpulan serangga hama dan serangga berguna. Petani menyimpulkan
hasil pengamatannya sesuai dengan pengalaman mereka, mereka menggunakan
analisa agro-ekosistem untuk membuat keputusan pengelolaan lahan dan
mengembangkan cara pandang tentang proses ekologis yang seimbang.
Fasilitator memberikan kesempatan kepada petani untuk menjadi ahli yang aktif,
dan membantu mereka untuk mengungkapkan dan menganalisa pengalaman mereka
sendiri. Selama proses tersebut, para petani:
- Membuat
sendiri alat dan bahan belajar, yang meliputi koleksi serangga, “kebun
serangga”, percobaan lapangan, poster, dan catatan pengamatan lapangan.
- Menciptakan
dan menggunakan perangkat analisis berupa bagan analisis agro-ekosistem
mingguan yang dibuat dengan krayon di atas kertas plano dan contoh hidup
untuk melakukan analisis ‘SWOT’, untuk mengembangkan rencana tindakan
selanjutnya.
- Memecahkan
permasalahan dan mengambil keputusan: petani PHT belajar untuk mengelola
program mereka sendiri dan mengadakan serta menjalankan kegiatan belajar
dan percobaan yang makin kompleks.
- Membangun
organisasi petani yang lebih kuat dengan cara mempelajari ketrampilan
dalam bidang kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen, yang akan berguna di
masa-masa berikutnya setelah Sekolah Lapangan selesai.
Semenjak 1990, lebih dari 20,000 SLPHT telah
diselenggarakan. Disamping padi, Sekolah lapangan juga diselenggarakan
untuk komoditas lain, yaitu kedelai, kubis, kentang, cabe dan bawang
merah. Model SLPHT juga telah diadopsi oleh berbagai kegiatan penyuluhan
pertanian, dan ‘diekspor’ ke berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Keberhasilan SLPHT telah memicu munculnya dukungan politis
yang spontan dan bantuan dana dari pemerintah setempat. Para Kepala Desa,
Bupati, dan Gubernur secara terbuka di depan publik telah menyatakan bahwa
SLPHT merupakan program pelatihan pertanian pedesaan yang paling efektif yang
pernah dilaksanakan; dan mereka mewujudkan dukungan tersebut dalam bentuk
bantuan dana dari anggaran pemerintah setempat.
Kunci Kesuksesan Program
PHT
a. Percaya pada
Kemampuan Petani
Falsafah “PHT
oleh Petani” telah menempatkan petani sebagai pusat pengembangan PHT. Hal
ini merupakan falsafah penuntun program PHT Indonesia, sekaligus merupakan
penentu utama keberhasilan program ini. Melalui SLPHT, petani mampu
menguasai ekologi di lahan tempat mereka bekerja, dan dengan demikian, mereka
menjadi ahli di lahannya. Namun, ini baru merupakan titik awal.
Lebih jauh, peran mereka semakin meningkat dan meluas, yaitu melalui pelatihan
dari petani-ke petani, studi petani, dan media petani untuk menciptakan pola
‘komunikasi horisontal’.
b. Dukungan
Kebijakan menyeluruh
Agar PHT
dapat berhasil, maka pelaksanaannya di lapangan dan pengaturan
kebijakan-kebijakan pendukungnya haruslah berjalan seiring dan saling
mendukung. Di tingkat pusat, para pembuat kebijakan perlu menciptakan dan
memelihara pola kebijakan yang kondusif, yang mencakup pengaturan pestisida,
dukungan dana, dan program pelatihan dan penelitian PHT. Di tingkat
daerah, dukungan nyata dari pemerintah daerah tingkat propinsi, kabupaten,
kecamatan, dan desa mendorong kelanjutan momentum pengembangan PHT. Untuk
lebih memperkuat Gerakan PHT, maka dilakukan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan,
kelompok konsumen, pers, dan badan-badan pendukung yang terlibat dalam bidang
kesehatan, lingkungan, dan pendidikan.
c. Penelitian
Pendukung
PHT
membutuhkan penelitian di semua tingkatan untuk mendukung pengembangan
program. Terobosan penelitian dalam PHT Padi yang dihasilkan oleh badan
penelitian dan universitas memungkinkan program di fase awal dapat dibangun
dengan dasar ilmiah yang kuat. Penelitian yang berorientasi lapangan
tentang sistem budidaya tanaman yang lain membuka jalan bagi pengembangan dan perluasan
PHT. Yang paling penting, kegiatan penelitian dan studi lapangan telah
dipadukan langsung ke dalam sistem yang berbasis petani sehingga memungkinkan
petani, petugas penyuluhan, dan peneliti bekerja bersama untuk memperkuat dan
memurnikan PHT, sebagai jawaban atas keadaan ekologi pertanian di daerah
tropika yang bersifat lokal-spesifik.
d. Belajar dengan
Cara Menemukan Sendiri
Inti
keberhasilan program PHT adalah proses belajar parsitipatoris dan inovatif,
yang memungkinkan petani dan pemandu untuk menemukan sendiri prinsip-prinsip
PHT di lahan mereka. Melalui proses ini petani menjadi pemilik - tidak
hanya sekedar menjadi pelaksana - dari pengetahuan dan cara/metoda PHT.
Metoda belajar PHT memungkinkan petani untuk menguasai teknik pengelolaan tanaman
yang efektif; sekaligus memperoleh ketrampilan dalam hal komunikasi antar
pribadi, pemecahan masalah, dan kepemimpinan melalui praktek langsung.
e. Manajemen yang
Tanggap dan Mendukung Kebutuhan Lapangan
Pelaksanaan
PHT dalam skala luas memerlukan sistem manajemen lapangan yang efektif, yang
dapat dengan cepat memberikan tanggapan terhadap setiap kebutuhan yang selalu
berkembang, dan muncul dari kelompok dan jaringan petani. Dalam PHT,
petugas lapangan, dan tentu saja petani, tidak pernah hanya bergelut dengan
hal-hal teknis saja karena latihan selalu berkaitan dengan pengembangan
ketrampilan berorganisasi dan manajemen di semua tingkat hingga kelompok
tani. Salah satu kunci keberhasilan program PHT Indonesia adalah
terbentuknya suatu sistem yang kuat yang terdiri dari 2.000 Pemandu Lapangan
PHT dan Petugas Lapangan yang berasal dari Direktorat Perlindungan
Tanaman. Para manajer lapangan ini bertanggungjawab untuk
mengembangkan strategi lokal dan memberikan tanggapan terhadap kebutuhan teknis
petani, sekaligus membangun kemampuan berorganisasi para petani dalam rangka
pelembagaan PHT di tingkat petani sendiri.
f. Pendekatan
Ekologis
Hal yang
pertama kali diperhatikan orang ketika mengunjungi SLPHT adalah gambar analisa
agro-ekosistem yang dibuat oleh petani. Dari awal, pendekatan PHT
menerapkan wawasan ekologis dalam pengelolaan budidaya pertanian. PHT
tidak hanya berbicara tentang serangga, melainkan lebih merupakan pendekatan
yang menyeluruh/holistik, yang mencakup keseluruhan sistem secara
lengkap: tanah, air, cuaca, tanaman, siklus unsur hara, jaring-jaring
makanan, aliran energi, komunitas akuatik, serta isu ekonomi pertanian dan
kesehatan petani. Pendekatan ini membedakan Program PHT yang sedang
berjalan saat ini dengan program-program pendahulunya, dan memberikan landasan
luas, yang memungkinkan PHT untuk memberikan sumbangan bagi pembangunan
pertanian yang berkelanjutan.
Rujukan
Departemen
Pertanian. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
390/Kpts/TP/600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional PHT,
Jakarta, 1994.
Dilts,
Russ. Sekolah Lapangan, Suatu Upaya Pembaharuan Penyuluhan Pertanian. Ekstensia,
Vol 1. Th.1, Pusat Penyuluhan Departemen Pertanian, Jakarta, 1994.
Dilts,
Russ. Facilitating the emergence of local institutions: reflections
from the experience of the Community IPM Programme in Indonesia. Di
dalam: Asian Productivity Organisation Role of Institutions in Rural
Community Development: Report of the APO Study Meeting in Colombo,
21-29 September 1998, halaman 50-65.
Gallagher,
K.D. Effects of Host Plant Resistance on the Microevolution of the Rice
Brown Planthopper, Nilaparvata lugens (STAL) (Homoptera: Delphacidae).
Ph.D. thesis. University of California, Berkeley. 1984
Kenmore,
P.E. Indonesia’s Integrated Pest Management: A Model for Asia.
FAO Inter-Country Programme for Integrated Pest Control in Rice in South and
Southeast Asia, 1991.
Kenmore,
P.E., F.O. Carino, C.A. Perez, V.A. Dyck, dan A. P. Gutierrez, “Population
Regulation of the Rice Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stal) Within Rice
Fields in the Philippines”. Journal of Plant Protection in the Tropics
1-1 (1984): pp. 19-37.
Kishi,
M., N. Hirschorn, M. Djajadisastra, L.N. Saterlee, S. Strowman dan R. Dilts.
“Relationship of Pesticide Spraying to Signs and Symptoms in Indonesian
Farmers’, Scandinavian Journal of Workplace and Environmental Health,
21: 124-33, 1995.
Ministry
of Agriculture of the Republic of Indonesia. IPM By Farmers: The
Indonesian Integrated Pest Management (IPM) Program. World Food Summit –
FAO, Rome, 1996.
Oka,
I.N. “Integrated Crop Pest Management with farmer participation in Indonesia”.
Reasons for Hope: Instructive Experiences in Rural
Development. A. Krishna, N. Uphoff, M.J. Esman, eds. Kumarian
Press, Connecticut, 1997.
Ooi,
P.A.C. Ecology and surveillance of Nilaparvata lugens
(STAL)-implications for its management in Malaysia. Thesis di
University of Malaysia untuk pemenuhan gelar Doctor of Philosophy. 1988.
Pontius,
J.C., Russell Dilts, and Andrew Bartlett. From Farmer Field Schools to
Community IPM: Ten Years of IPM Training in Asia. FAO Regional Office
for Asia and the Pacific, Bangkok, 2002.
Program
Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Studi Lapangan untuk Ekologi Padi.
Tim Studi Habitat, Departemen Pertanian, Jakarta, 1995.
Republik
Indonesia. Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 tentang Pengendalian
Hama Wereng Coklat, Jakarta, 1986.
Settle,
W.H., H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A. L. Hakim, D. Hindayana, A.S.
Lestari, Pajarningsih, dan Sartanto. “Managing tropical rice pests through
conservation of generalist natural enemies and alternative prey.” Ecology
77: 1975-1988, 1996.
Soehardjan,
M. “Some Notes on the Occurrence of Rice Pests”. Departemen Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor, Indonesia. 1972.
Way,
M.J., K.L. Heong. “The role of biodiversity in the dynamics and
management of insect pest of tropical irrigated rice – a review.” Bulletin
of Entomological Research 84, 567-587. 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar